Kamis, 25 Desember 2025

“Empat Saudara yang Menemani Manusia Sejak Lahir”


 Sejak awal mula manusia ditiupkan ruh ke dalam jasadnya, ada rahasia besar yang ikut lahir bersamanya. Rahasia itu bukan berupa harta pusaka, bukan pula bekal duniawi, tetapi empat kekuatan batin yang diam-diam membentuk jalan hidup kita dari kecil hingga dewasa. Orang Jawa menyebut mereka sebagai “Sadulur Papat”, empat saudara halus yang tak terlihat tetapi terasa dalam tiap desah napas kita.

Dalam pandangan para sufi, empat saudara itu disebut sebagai tingkatan nafs, lapisan-lapisan jiwa yang menggerakkan emosi, pikiran, dan keinginan manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ghazali, manusia bukan hanya tubuh semata tetapi ada jiwa yang bergejolak dan ruh yang menjadi pusat kehidupan—pusat yang di Jawa disebut Urip, atau Pancer.
Lontar-lontar Jawa Kuno berbicara mengenai tiga tubuh yang menyelimuti manusia:
-tubuh raga yang tampak,
-tubuh jiwa yang bergerak dalam rasa, dan
-tubuh ruh yang menjadi cahaya penghidup.
Ketiganya bekerja seperti tiga lapisan yang saling mengisi. Dan di antara tubuh jiwa inilah tinggal empat saudara itu—Napsu Patang Prakara.
Kisah Empat Saudara
Orang tua Jawa dahulu menggambarkan keempat saudara ini dengan nama yang akrab sejak bayi lahir: Kakang Kawah, Adhi Ari-Ari, Gêtih, dan Pusêr. Bukan sekadar istilah biologis, melainkan simbol-simbol batin yang memetakan perjalanan seorang manusia.
Mereka berkata bahwa empat saudara ini tidak pernah benar-benar pergi. Mereka tumbuh bersama kita, mendampingi setiap gerak hati dan perubahan rasa yang kita alami.
1. Gêtih — Sang Amarah
Saudara pertama, Gêtih, adalah yang paling cepat bangkit ketika ada yang memancing emosi. Dialah yang membuat kita merasa tersinggung, marah, panas, atau gelisah. Dalam bahasa para sufi, ia disebut Nafs al-Ammarah—bagian jiwa yang mendorong kita pada dorongan instingtif dan agresi.
Gêtih bergerak cepat seperti darah yang mengalir. Ia memicu keberanian, tetapi jika tidak diarahkan, ia berubah menjadi angkara murka. Ia seperti api kecil yang bisa menghangatkan, tetapi juga bisa membakar bila dibiarkan tanpa kendali.
2. Pusêr — Sang Pengingat dan Penyesal
Saudara berikutnya adalah Pusêr. Inilah bagian dari jiwa yang sering ragu, gelisah, lalu menyesali apa yang telah dilakukan. Ia adalah Nafs al-Lawwamah, jiwa yang selalu mengajak kita berhenti sejenak, menimbang, merenung, lalu belajar dari pengalaman.
Di sanalah tersimpan lapar, dahaga, malas, namun juga daya ingat bawah sadar. Setiap trauma, setiap kebahagiaan masa kecil, setiap bayangan masa lalu tinggal di dalamnya. Ia seperti sumur tua tempat memori berkumpul dan membentuk watak manusia.
Kadang kita benci padanya karena ia membuat kita overthinking, tetapi sesungguhnya ia juga yang mengajarkan kehati-hatian.
3. Adhi Ari-Ari — Sang Pengejar Keinginan
Saudara ketiga, Adhi Ari-Ari, adalah sumber dari segala keinginan. Dalam tasawuf, ia disebut Nafs al-Muhmalah—jiwa yang penuh angan-angan dan hasrat duniawi. Ia membuat kita ingin memiliki, ingin meraih, ingin mendapat lebih banyak.
Ia seperti anak kecil yang selalu lapar pada pengalaman baru: melihat sesuatu, lalu ingin; mencium sesuatu, lalu tergoda; membayangkan sesuatu, lalu mengejar.
Tanpa Adhi Ari-Ari, manusia mungkin tidak punya ambisi. Namun bila ia menguasai hidup sepenuhnya, keinginan menjadi tak pernah berhenti, dan hati menjadi lelah mengejar tanpa ujung.
4. Kakang Kawah — Sang Penuntun Tenang
Saudara yang paling bijaksana adalah Kakang Kawah. Dialah Nafs al-Muthmainnah, jiwa yang tenang dan matang. Kehadirannya seperti sejuknya air di tengah terik, seperti angin lembut yang membuat dada terasa lapang.
Kakang Kawah tidak berteriak tapi ia berbisik. Tidak memaksa tapi ia mengarahkan. Ia hadir dalam doa yang khusyuk, dalam napas yang stabil, dalam rasa syukur yang tiba-tiba muncul tanpa sebab. Ia adalah jalan pulang dari kegaduhan pikiran dan gejolak batin.
Ketika tiga saudara lainnya bergejolak, Kakang Kawah-lah yang menyatukan, menenangkan, lalu mengembalikan kita pada pusat diri—pada ruh yang suci.
Empat Saudara dalam Lintas Tradisi
Apa yang menarik adalah bahwa konsep empat tingkatan jiwa ini tidak hanya hidup dalam Islam dan budaya Jawa. Tradisi Siwa-Buddha yang jauh lebih tua pun mengenal gagasan serupa:
-Ahangkara untuk Amarah
-Citta untuk ingatan dan naluri dasar
-Manah untuk pikiran dan keinginan
-Buddhi untuk kesadaran dan kejernihan
Seolah-olah para leluhur telah berbicara dalam bahasa yang berbeda namun menunjuk pada satu hal yang sama: manusia adalah makhluk yang harus belajar berdamai dengan dirinya sendiri.
Pancer: Ruh sebagai Sumber Cahaya
Empat saudara itu tidak bekerja sendirian. Mereka memiliki pusat, sebuah titik cahaya yang menghidupkan semuanya. Orang Jawa menyebutnya Pancer, para sufi menyebutnya al-Ruh. Inilah bagian terdalam manusia yang paling murni, paling jernih, paling dekat dengan Tuhan.
Tugas kita sebagai manusia bukan menghapus salah satu saudara itu—karena mereka semua adalah bagian dari kita. Tugas kita adalah memahami, mengarahkan, menyeimbangkan, hingga akhirnya seluruh tenaga batin itu berjalan bersama ruh, bukan melawannya.
Ketika Gêtih menjadi keberanian,
Pusêr menjadi kebijaksanaan,
Adhi Ari-Ari menjadi kreativitas,
Kakang Kawah menjadi ketenangan,
maka manusia menemukan dirinya dalam keadaan paling utuh.
Akhir dari Kisah Ini
Empat saudara itu akan selalu ada bersama kita—dari napas pertama hingga napas terakhir. Mereka tumbuh, berubah, dan bereaksi sesuai perjalanan hidup kita. Tetapi pada akhirnya, mereka semua hanya ingin membawa kita kembali pada satu tujuan:
Menjadi manusia yang mengenali dirinya, hingga akhirnya mengenali Tuhannya.
Begitulah kisah tentang jiwa, tentang empat tenaga yang membentuk batin manusia, yang telah diajarkan para sufi, para wali, dan para leluhur Nusantara sejak berabad-abad yang lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Zikir Nafas dan Sadar Nafas dalam Pandangan Spiritualitas Islam

  Zikir nafas adalah salah satu bentuk dzikir yang dilakukan dengan menyatukan kesadaran, lafaz dzikir, dan irama nafas. Praktiknya adalah d...