Spiritualitas Universal Nusantara Berdasarkan Lontar Kuno
Hakikat Tunggal ini disebut dengan banyak nama di berbagai naskah:
-Bhaṭṭāra Sadāśiwa – dalam Lontar Sanghyang Tattwa Jñāna
-Bhaṭṭāra Mūrchā – dalam Lontar Sanghyang Nawaruci
-Paramasiwa
-Seuwwae – dalam tradisi Bugis
-Sanghyang Tunggal – dalam banyak lontar Jawa-Bali
Semua nama tersebut menunjuk pada satu realitas:
Sumber kesadaran universal tempat seluruh makhluk dan alam bermula dan kembali.
SYIWAPAKSHA: AJARAN KESATUAN REALITAS
Syiwapaksha bukanlah sekadar ajaran penyembahan figur “Siwa”, melainkan sistem spiritual untuk memahami bahwa:
Segala wujud berasal dari Kesadaran Tunggal dan kembali kepada-Nya.
Dalam pandangan Nusantara:
-Syiwa = simbol Kesadaran Mutlak
-Tidak identik dengan dewa antropomorfis
-Tidak terikat wujud atau citra tertentu
Hal ini selaras dengan pernyataan dalam Lontar Bhuwana Kosa:
“Śiwa tan parūpa, tan pangrāga.”
Syiwa tiada memiliki bentuk dan tiada berjasad.
Artinya jelas:
-Tuhan tanpa rupa
-Tidak dapat dipersonifikasi
TRIMURTI: TIGA FUNGSI KOSMIS, BUKAN TIGA TUHAN
Dalam spiritualitas Nusantara, Trimurti bukan tiga Tuhan, tetapi tiga prinsip kerja alam semesta:
Brahma sebagai Penciptaan bentuk
Wisnu sebagai Pemeliharaan kehidupan
Siwa sebagai Peleburan & pemurnian
Ketiganya merupakan entitas ciptaan yang mengemban tugas kosmik. Hal ini ditegaskan dalam Lontar Sanghyang Tattwa Jñāna Sloka 4:
“Inilah yang disebut Sadāśiwa, memiliki wyāpāra (aktifitas) sebagai Bhattara Sadāśiwa. wyāpāra artinya Dia dipenuhi oleh Sarwajnya (Maha Tahu) dan Sarwakāryākartā (Maha Melakukan Kerja). Sarwajnya Sarwakāryākartā diwujudkan berupa padmāsana (singgasana teratai) yang merupakan tempat duduk Bhaṭṭāra. Tempat duduk tersebut adalah Caduśakti (empat kesaktian), perinciannya: Jnyānaśakti (Kesaktian Pengetahuan), Wibhuśakti (Kesaktian Meliputi Segalanya), Prabhuśakti (Kesaktian Kekuasaan) dan Kriyaśakti (Kesaktian Tindakan), demikianlah yang disebut Caduśakti. Jnyānaśakti terbagi tiga, perinciannya : Dūrādarśana, Dūrāśrawana dan Dūrātmaka. Dūrādarśana adalah melihat segala hal yang jauh maupun yang dekat. Dūrāśrawana adalah mendengar segala hal yang jauh maupun yang dekat. Dūrātmaka adalah mengetahui gerak batin yang jauh maupun yang dekat, demikianlah yang disebut Jnyānaśakti. Wibhuśakti adalah tak ada kekurangan-Nya diseluruh alam semesta. Prabhuśakti adalah tak dapat dihalangi segala yang menjadi kehendak-Nya. Sedangkan Kriyaśakti adalah Dia yang menciptakan seluruh semesta ini semua, juga menciptakan seluruh Dewatā, seperti Brahmā, Wiṣṇu, Iśwara (Siwa)...”
(Lontar Sanghyang Tattwa Jñāna, Sloka 4)
Makna spiritualnya:
-Para dewata—termasuk Trimurti—merupakan ciptaan
-Mereka bekerja di bawah Kesadaran Tunggal Sadāśiwa
Perbedaan Konsep Trimurti Hindhu Bali dan Hindhu India
Hindhu India
Dalam tradisi Hindhu India, Trimurti terdiri atas tiga wujud Tuhan utama: Brahmā (Pencipta), Wisnu (Pemelihara), dan Siwa (Penghancur). Ketiganya dianggap sebagai manifestasi atau perwujudan Tuhan yang satu, yaitu Brahman yang maha esa. Konsep ini berkembang terutama sejak periode setelah Weda, misalnya dalam Purana dan epik. Namun, memang dalam kitab Weda sendiri tidak ditemukan konsep Trimurti dalam bentuk ini.
Leluhur Nusantara
Dalam tradisi Bali, Trimurti bukanlah manifestasi Tuhan tetapi adalah jabatan atau peran yang diemban oleh makhluk ciptaan Tuhan. Tuhan tertinggi disebut Bhattara Sadāśiwa atau Bhaṭṭāra Mūrchā, yang memiliki sifat-sifat Maha Tahu (Jnyānaśakti), Maha Meliputi Segala (Wibhuśakti), Maha Berkuasa (Prabhuśakti), dan Maha Berkarya (Kriyaśakti). Tritunggal Siwa, Brahma, dan Wisnu adalah ciptaan-Nya yang menjalani tugas tertentu sesuai fungsi-Nya dalam alam semesta yang akan hancur dan tercipta berulang kali. Dengan demikian, Trimurti adalah posisi jabatan yang selalu diisi individu unggul pada setiap siklus penciptaan.
Konsep Ketuhanan Nusantara Lainnya
Dalam lontar-lontar Hindu Bali selain Sanghyang Tattwa Jñāna dan Nawaruci, konsep ketuhanan menekankan Tuhan Maha Esa sebagai Nirguna Brahman (tanpa sifat, mutlak) yang memanifestasikan sebagai Saguna Brahman melalui Sadāśiwa atau Bhatara Dalem. Lontar Tutur Gong Besi menggambarkan Bhatara Dalem sebagai Hyang Widhi Wasa yang berpindah sthana dengan gelar berbeda, seperti Sanghyang Sapuh Jagat di pertigaan jalan atau Sanghyang Tunggal di sanggah, menegaskan aspek teisme mutlak. Lontar ini berasal dari pengaruh Mpu Kuturan abad 10-12, yang mengintegrasikan sekte-sekte Siwaistik dengan Trimurti sebagai manifestasi fungsional Tuhan.
Lontar Vrhaspati Tattwa dan Kumara Tattwa memperkuat pembedaan Paramaśiva (Nirguna, impersonal) sebagai sumber utama dengan Sadāśiwa (Saguna, personal dengan sifat seperti Dūrādarśana dan kriyaśakti). Vrhaspati Tattwa menggunakan dialog Siwistik untuk ajaran samkhya-yoga, menuju moksa melalui Sadanggayoga dan Dasasila, sementara Kumara Tattwa menyajikan monisme teistik via dialog Kumara, dengan simbol seperti lingga-yoni. Kedua lontar ini menunjukkan Siwa sebagai Tuhan tunggal dalam manifestasi, bukan Trimurti sebagai esa.
BHATṬĀRA MŪRCHĀ: HAKIKAT YANG MELAMPAUI ADA-TIADA
Konsep terdalam Ketuhanan Nusantara muncul dalam Lontar Sanghyang Nawaruci (Sloka 40):
“…Dialah Bhaṭṭāra Mūrchā, Dewa Tertinggi yang memperanakkan Hyang Guru…”
Mūrchā berarti:
-Yang tiada namun ada
-Melampaui bentuk dan ketiadaan
-Tak terjangkau bahasa atau pikiran
Dan di sini dijelaskan:
-Hyang Guru (Siwa Trimurti) adalah ciptaan,
-Bhaṭṭāra Mūrchā adalah Hakikat Tertinggi.
CADUŚAKTI: DAYA-DAYA KESADARAN
Lontar Sanghyang Tattwa Jñāna juga menjelaskan Tuhan memiliki Caduśakti (empat daya):
-Jñānaśakti – Maha Mengetahui
-Wibhuśakti – Meliputi segalanya
-Prabhuśakti – Maha Berkuasa
-Kriyaśakti – Maha Pencipta & Penggerak
Ini menunjukkan bahwa Tuhan dalam spiritualitas Nusantara:
-bukan figur statis
-melainkan Kesadaran aktif yang menggerakkan seluruh kosmos
AJARAN KEESAAN DALAM LONTAR TERTUA
“Sang Hyang Tunggal tan painan, tan kinaya ngapa.”
Tuhan itu Esa, tiada dapat dibayangkan.
Bhuwana Kosa
“Śiwa tan parūpa, tan pangrāga.”
Ia tidak berbentuk dan tidak berjisim.
Ganapati Tattwa
“Sanghyang Eka tan katemu warna.”
Yang Maha Esa tak dapat digambarkan oleh rupa apa pun.
Tutur Kamandaka
“Trimūrti neckanang jñāna karya muput ring loka.”
Trimurti hanyalah pelaksana kehendak kosmik dalam dunia.
AGASTYA: SANG GURU PERADABAN
Agastya (Bhaṭāra Guru) dikenal sebagai tokoh suci Nusantara yang:
-Mengajarkan Syiwapaksha
-Membimbing keselarasan manusia–alam–kosmos
-Mengajarkan bahwa penyembahan sejati ada pada kesadaran diri
Ia dikenal dengan banyak nama:
Guru kesadaran purba Nusantara.
ATALADWIPA: PETA KESADARAN BATIN
Dalam kosmologi Nusantara, tujuh alam bawah (Atala hingga Santaladwipa) bukan hanya kosmografi mitis, melainkan simbol lapisan batin manusia:
Atala - Naluri dasar
Witala - Emosi rendah
Nitala - Ego
Mahatala - Nafsu kuasa
Sutala - Kesadaran awal
Talatala - Kesunyian
Santaladwipa - Kebeningan sejati
Tujuan spiritual:
Menapaki lapisan-lapisan ini menuju kesadaran tertinggi.
Spiritualitas Nusantara mengajarkan bahwa seluruh kehidupan bersumber dari satu Kesadaran Mutlak; kosmos bergerak melalui tiga fungsi penciptaan, pemeliharaan, dan pelepasan; dan tujuan hidup manusia adalah menyadari kembali kesatuan dengan Sumber tersebut.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar