Sering kali kita menganggap makan dan minum sebagai aktivitas rutin, sekadar pemenuhan kebutuhan jasmani. Padahal, dalam Islam, adab makan dan minum mengandung kedalaman spiritual yang luar biasa, sebuah latihan kesadaran (hudhur) dan syukur yang sering luput kita hayati.
Pernahkah kita benar-benar mengkaji, mengapa Rasulullah ﷺ mengajarkan untuk makan dan minum sambil duduk, dengan tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak larut dalam obrolan atau aktivitas lain? Mengapa minum dianjurkan dalam beberapa tegukan, diselingi jeda? Jika ditelusuri secara spiritual, semua ini bukan sekadar etika lahiriah, melainkan metode menghadirkan kesadaran batin.
Ketika kita makan dan minum dengan fokus penuh, kesadaran kita hadir sepenuhnya pada momen itu. Kita tidak sekadar “mengisi perut”, tetapi menyaksikan proses kasih sayang Allah yang sedang bekerja dalam diri kita. Kita merasakan bagaimana makanan itu masuk ke tenggorokan, mengalir, menguatkan tubuh, dan menghidupkan sel-sel yang lemah. Pada saat itulah, rasa nikmat tidak lagi berhenti di lidah, tetapi turun ke dalam hati.
Dalam kesadaran penuh, setiap suapan berubah menjadi pesan cinta. Setiap tegukan menjadi bisikan kasih sayang Ilahi. Di sanalah syukur bukan lagi sekadar ucapan “Alhamdulillah” di lisan, tetapi getaran rasa yang hidup di dalam jiwa. Syukur menjadi pengalaman, bukan konsep.
Jeda di antara tegukan bukanlah jeda yang kosong. Ia adalah ruang kesadaran. Ruang untuk menyadari bahwa nikmat ini bukan hasil usaha kita semata. Ada tangan Allah yang memberi, ada cinta Allah yang mengalir, ada rahmat Allah yang sedang kita terima tanpa syarat. Dalam ruang itulah, hati dilatih untuk tunduk dan lembut.
Namun sering kali, kita lalai. Kita makan sambil bercanda, berbicara berlebihan, atau sibuk dengan hal lain. Makanan hadir, tetapi kesadaran tidak ikut hadir. Nikmat ada, tetapi hati tidak menyentuhnya. Di sanalah, tanpa kita sadari, benih kufur nikmat mulai tumbuh—bukan karena menolak nikmat, tetapi karena tidak merasakannya.
Ketika kesadaran syukur ini benar-benar dihadirkan, jiwa dapat bergetar. Ada saat-saat di mana mata berkaca-kaca hanya karena menyadari: “Ya Allah, betapa Engkau begitu dekat dan begitu menyayangi hamba-Mu, bahkan lewat sepotong makanan dan seteguk air.” Syukur tidak lagi terasa ringan, ia menjadi dalam dan mengguncang.
Maka tidak heran jika Islam sangat menekankan untuk tidak menyisakan makanan dan menjauhi sikap mubazir. Membuang makanan bukan hanya soal etika sosial, tetapi cermin kondisi batin. Ia seakan berkata bahwa nikmat ini tidak kita hargai, cinta ini tidak kita sadari. Padahal, setiap makanan yang terhidang adalah amanah kasih sayang dari Allah.
Kini pertanyaannya kembali kepada diri kita masing-masing:
Seberapa sering kita alfa dalam menikmati nikmat yang begitu dekat ini?
Seberapa cuek hati kita terhadap karunia yang hadir setiap hari?
Mungkin, jalan menuju syukur yang sejati tidak selalu dimulai dari hal-hal besar. Ia justru bermula dari satu suapan yang kita rasakan sepenuh hati, dan satu tegukan yang kita sadari dengan cinta.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar