Berbicara tentang ruh bukanlah membahas kelenjar pineal atau pusat-pusat biologis semata. Membicarakan ruh adalah membicarakan batin, ruang terdalam di mana kesadaran manusia berjumpa dengan dirinya sendiri. Jalan ruh sejatinya adalah jalan penyucian jiwa yaitu sebuah proses membersihkan batin dari segala beban yang mengaburkan cahaya diri.
Yang perlu disucikan bukan hanya pikiran, tetapi juga lapisan rasa. Kesedihan yang mengendap, kemelekatan terhadap masa lalu, luka emosi yang tak sembuh, pikiran-pikiran kotor, hingga sifat-sifat hewani yang menjerat manusia,iri, dengki, dendam, sombong, cemburu, merasa lebih tinggi dari yang lain.Semua itulah yang perlahan menutup kejernihan jiwa.
Selama seseorang belum berdamai dengan dirinya sendiri, batinnya akan tetap gaduh. Maka yang perlu dilakukan bukan sekadar melupakan masa lalu, melainkan menghancurkan muatan rasa yang melekat pada kenangan itu. Memori tidak harus dihapus karena memori adalah bagian dari perjalanan hidup tetapi rasa yang muncul ketika memori hadir itulah yang perlu disucikan. Ketika kenangan datang tanpa disertai gelombang luka, marah, atau takut, saat itulah seseorang benar-benar telah berdamai. Kenangan hadir, namun hati tetap biasa saja tenang, tidak terguncang.
Inilah mengapa dalam hampir semua jalur spiritual, dari masa ke masa dan lintas kepercayaan, inti pembahasan selalu kembali pada satu hal yaitu pembersihan diri. Metodenya beragam, bahasanya berbeda-beda, simbol-simbolnya tidak sama, tetapi tujuannya satu yaitu mewujudkan batin yang jernih agar cahaya ruh dapat disaksikan tanpa tabir.
Dalam perjalanan batin, tak jarang seseorang akan menjumpai “sosok diri versi pertapa” yang merupakan gambaran simbolik dari ego spiritual atau pembimbing batin yang muncul saat kesadaran mulai masuk ke ruang dalam diri. Sosok ini bukanlah diri sejati. Ia bisa hadir sebagai penuntun sementara, membantu membuka jalan pemahaman. Namun bila tak memberi tuntunan sejati, ia tak perlu dilekati atau diidolakan, cukup disaksikan lalu dilepas.
Sebab puncak perjalanan batin bukan terletak pada penampakan atau pengalaman luar biasa, melainkan pada penguasaan rasa. Rasa bukan sekadar sensasi emosional, melainkan kumpulan kondisi batin yang membentuk cara kita memandang dunia. Di sinilah latihan sejati dimulai mengenali dendam saat ia muncul, menyadari amarah ketika gelombangnya bergolak, memerhatikan kesombongan saat ia menyelinap tanpa terasa.
Setelah rasa itu dikenali, bukan dipendam tetapi diluruhkan. “Penghancuran” rasa bukan berarti menolak atau memusuhi emosi, melainkan menghadirkannya ke dalam kesadaran lalu menyalakan rasa cinta sebagai penetralnya. Cinta dalam arti tertinggi kelapangan menerima, welas asih, dan kesadaran akan kesatuan yang akan melumerkan energi negatif yang timbul sebelumnya. Pada awalnya, ini memang tidak mudah. Menghadapi diri sendiri selalu lebih sulit daripada melawan dunia luar. Namun latihan yang terus-menerus akan membuat hati semakin lapang dan kuat.
Dalam khazanah simbol batin, huruf Alif dan Ba sering dimaknai sebagai kunci pemahaman spiritual. Batang tubuh Alif melambangkan keesaan lurus kesadaran murni yang berdiri tegak menuju Tuhan. Sedangkan tubuh Ba, dengan titik di bawahnya, menggambarkan batin manusia yaitu wadah kesadaran tempat segala rasa bermuara. Titik di bawah Ba bukan sekadar tanda baca, melainkan simbol inti terdalam batin “rahasia dalam rahasia” tempat ruh bersandar dan cahaya Ilahi memancar paling halus.
Menyambungkan simbol ini dengan perjalanan batin berarti menyadari satu hal kunci ruhani bukan terletak di luar diri, melainkan di titik terdalam kesadaran kita sendiri. Ketika pikiran jernih, rasa bersih, dan hati lapang maka Alif berdiri tegak dalam diri, dan titik Ba menyala sebagai pusat kehadiran ruh.
Di sanalah manusia menemukan dirinya yang sejati: bukan sebagai kumpulan luka dan dendam, bukan sebagai penjelmaan ego, tetapi sebagai kesadaran murni yang damai yang menghadapi memori tanpa luka, menghadapi masalah tanpa dendam, dan menjalani hidup tanpa kehilangan cinta.
Itulah jalan ruh, jalan yang membersihkan batin, menghadirkan cinta, dan pulang ke jernihnya diri.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar