Tidak ada satu pun pertemuan yang benar-benar kebetulan.
Setiap jiwa hadir dalam hidup kita karena ada pelajaran yang perlu dipelajari bersama.
Seseorang datang bukan semata untuk menemani,
melainkan menjadi cermin:
memantulkan luka yang harus disembuhkan,
harapan yang perlu dihidupkan,
dan kesadaran yang harus dibangunkan.
Ketika ia pergi, itu bukan pertanda kegagalan.
Justru sering kali itu tanda bahwa pelajaran utama telah selesai
yang tersisa hanyalah tugas paling penting
mengulangi, mengkaji, dan memaknai pembelajaran itu dalam batin kita sendiri.
Setiap pertemuan memiliki jangka waktunya.
Seperti musim yang berganti,
tak pernah ada musim yang menetap selamanya.
Dan kebijaksanaan hidup terletak pada satu kemampuan halus
siap melepaskan ketika waktunya telah tiba.
Namun, di situlah manusia sering terjatuh
pada kemelekatan yang dibungkus kata cinta.
Melepaskan terasa nyaris mustahil,
terutama saat cinta masih berupa harap dan hasrat
pada fase pacaran, cinta kerap dijadikan alibi untuk ketergantungan
takut kehilangan, takut sendiri, takut tak dicintai lagi.
Di titik inilah luka emosional bisa berubah menjadi keputusasaan,
bahkan membawa sebagian jiwa pada keputusan paling kelam:
mengakhiri hidup bukan karena tak sanggup hidup,
melainkan karena belum belajar melepaskan.
Saat memasuki pernikahan, wajah cinta pun berubah.
Alibi romantiknya memudar,
berganti rutinitas dan kepemilikan.
Bukan lagi cinta sebagai kerinduan,
melainkan cinta sebagai peran dan tanggung jawab.
Namun, jika kesadaran tak tumbuh,
kemelekatan tetap hidup
hanya berganti topeng
bukan lagi takut kehilangan,
melainkan takut tidak dihargai, tidak dipenuhi, atau tidak diakui.
Padahal sesungguhnya…
Tidak ada pasangan yang salah.
Yang ada hanyalah pasangan dengan masa belajar berbeda dalam hidup kita.
Setiap orang hadir membawa modul kesadarannya sendiri:
-Ada yang mengajarkan arti menerima.
-Ada yang melatih kesabaran.
-Ada yang menguji keikhlasan.
-Ada yang memaksa kita belajar mencintai diri sendiri.
-Ada juga yang mengajarkan arti melepaskan,
pelajaran paling sunyi sekaligus paling agung.
Takdir mempertemukan kita
tidak untuk memiliki selamanya,
melainkan untuk bertumbuh sementara.
Setiap langkah dalam hidup ini sesungguhnya adalah perjalanan pendidikan ruhani:
kelas demi kelas kesadaran yang harus kita tempuh.
Tak ada jalan yang sia-sia.
Tak ada pertemuan yang keliru.
Tak ada perpisahan yang tanpa hikmah.
Yang menentukan bukan siapa yang datang atau pergi,
melainkan apakah kita benar-benar belajar dari setiap perjumpaan itu.
Karena tujuan sejati pertemuan bukanlah untuk mengikat jiwa pada sesama,
melainkan
membebaskan jiwa untuk kembali mengenal dirinya — dan Tuhannya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar