Tidak ada yang benar-benar “salah” dalam kehidupan.
Segala yang terjadi adalah bagian dari skenario Tuhan kepada makhluk-Nya—sebuah rangkaian peristiwa yang disusun dengan Maha Sempurna sebagai jalan pembelajaran jiwa agar kita tumbuh menjadi pribadi yang lebih sadar, lebih matang, dan lebih dekat kepada-Nya.
Yang sering keliru bukanlah peristiwa itu sendiri, tetapi cara kita menyikapi dan melabeli takdir yang kita terima.
Ketika sesuatu tak berjalan sesuai harapan, kita memberi cap “kesalahan” pada keadaan, pada orang lain, bahkan pada Tuhan. Padahal, yang sesungguhnya perlu dikoreksi adalah sudut pandang kita, bukan kenyataan yang terjadi.
Salah satu contoh paling dekat adalah dalam hubungan dan pasangan.
Sering kita mendengar ungkapan, “Aku salah memilih pasangan.”
Namun, benarkah pasangan itu yang salah?
Jika direnungkan lebih dalam, tidak ada pasangan yang hadir secara kebetulan. Kita dipertemukan dengan seseorang justru karena ada pelajaran yang perlu kita serap: tentang kesabaran, keikhlasan, kedewasaan, pengendalian ego, atau tentang memurnikan cinta dari kepemilikan menjadi penerimaan.
Pasangan yang “kita anggap salah” sejatinya adalah cermin kesadaran diri.
Di sanalah sisi-sisi terdalam diri dipantulkan, luka yang perlu disembuhkan, kesombongan yang perlu dilembutkan, dan ego yang perlu ditundukkan. Setiap konflik, perbedaan, dan rasa tidak nyaman adalah pintu menuju pertumbuhan batin jika kita mau memaknainya.
Namun, banyak orang terjebak di ruang rasa: kesedihan, penyesalan, marah, atau keterikatan.
Walaupun sudah menerima banyak nasihat, baik secara sadar maupun tidak sadar, sering ada keengganan untuk keluar dari ruang itu. Alasannya beragam: masih sayang, tidak terima kenyataan, takut melepaskan, atau enggan memulai lembar baru. Akhirnya, rasa yang seharusnya menjadi guru justru berubah menjadi penjara.
Padahal, segala yang terjadi pada diri kita adalah bagian dari Maha Sempurnanya Tuhan, tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang tanpa makna. Di balik setiap peristiwa, selalu tersimpan hikmah. Masalahnya bukan pada ada atau tidaknya hikmah itu, melainkan pada kesediaan kita untuk melihat dan menerimanya.
Kunci perubahan ada pada label penerimaan. Ketika kita melabeli takdir sebagai “hukuman” atau “kesalahan”, maka hati akan mengeras, pikiran gelap, dan jiwa terperangkap dalam penolakan. Namun, saat kita mengubah label menjadi “proses pembelajaran” dan “tanda cinta Tuhan”, sudut pandang pun berubah.
Takdir tidak lagi terasa pahit, melainkan menjadi jalan pendewasaan. Luka tidak lagi dipandang sebagai kutukan, tetapi sebagai undangan untuk menyembuhkan diri. Perpisahan tidak lagi dirasa kegagalan, melainkan simbol selesainya satu fase menuju kedewasaan jiwa yang baru.
Ketika kita mengarahkan label takdir pada Cinta Tuhan, kita akan memahami bahwa semua yang terjadi baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan adalah bentuk perhatian dan kasih-Nya. Tuhan tidak sedang menjatuhkan kita, Dia sedang membimbing kita untuk kembali mengenal siapa diri kita, apa makna cinta sejati, dan ke mana arah pulang sejati manusia yaitu kepada-Nya.
Pada akhirnya, bukan takdir yang perlu diubah, melainkan cara memaknainya. Saat makna berubah, hati pun lapang
dan ketika hati lapang, takdir yang berat pun terasa ringan karena kita menyadari bahwa semua perjalanan ini sesungguhnya adalah perjalanan pulang ke dalam cinta Tuhan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar